ESSAY CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI 2023

PENYELESAIAN MASALAH DALAM ORGANISASI

Disusun Oleh :

Widiyanto

21144000002

  1. Pendahuluan

Setiap saat manusia diperhadapkan pada persoalan yang membutuhkan jalan keluar. Pilihan atas jalan keluar tentang setiap persoalan merupakan pengambilan keputusan, karena itu pemecahan persoalan (problem-solving) tidak terpisahkan dari pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan terus-menerus terjadi di dalam organisasi, sehingga organisasi disebut sebagai a decision making machine (Jones, 2007). Pengambilan keputusan sangat penting dalam organisasi, bahkan dapat diidentikkan dengan pengelolaan organisasi. Ini beralasan karena keputusan yang diambil sangat menentukan perjalanan hidup organisasi. Kast dan Rosenzweigh (1985) menyebut bahwa pengambilan keputusan merupakan keharusan di setiap aras organisasi supaya tugas-tugas strategis, koordinatif dan operasional, termasuk di aras nonmanagerial dapat ditangani dengan baik (Dongoran, 2005).

Menurutnya (Duncan, 1981), untuk memahami pemecahan masalah, perlu mengikuti sejumlah langkah, yakni: (a) memperoleh informasi, (b) bertindak dalam pengambilan keputusan, dan (c) ketidak sesuaian dengan kesadaran/ cognitive dissonance (p.124-128). Dari pendapat Duncan jelas bahwa pengambilan keputusan merupakan pilihan jalan keluar atas persoalan (the actual choices of solution), namun dia menambahkan langkah yang ketiga, yakni cognitive dissonance sebagai konsekuensi dari setiap keputusan. Artinya.penyelesaian masalah lebih luas dari pengambilan keputusan, karena masih harus mempertimbangkan konsekuensi keputusan yang diambil.

Hubungan pengambilan keputusan dengan pemecahan masalah dapat diuraikan sebagai berikut (Kast and Rosenzweig, 1985, p.423): Pengambilan keputusan mencakup: (a) kegiatan mengidentifikasi persoalan, memberi batasan atas persoalan dan mendiagnosa persoalan, (b) kegiatan menemukan berbagai alternatif pemecahan atas persoalan, dan (c) kegiatan menilai berbagai alternatif pemecahan dan memilih dari berbagai alternatif pemecahan tersebut. Kegiatan ketiga (butir c) adalah membuat pilihan. Selain ke tiga kegiatan tersebut, pemecahan masalah (problem-solving) juga mencakup kegiatan: (d) pelaksanaan alternatif pemecahan yang telah dipilih, dan (e) kegiatan memelihara, memonitoring dan mereview program pemecahan tersebut. Dari berbagai kegiatan di atas, jelas bahwa pemecahan masalah lebih luas dari pengambilan keputusan.

Selanjutnya, Kast and Rosenzweig (1985) menyebut bahwa dalam pemecahan masalah perlu diperhatikan dua hal, yaitu diagnosis dan tindakan. Keduanya harus seimbang dan dijalankan dengan baik dan benar. Over-diagnosis menyebabkan “paralysis by analysis”, di mana organisasi tidak berani dan tidak pernah bertindak, dan under-diagnosis yang akan menghasilkan “extinction by instinct”, di mana organisasi terlalu cepat bertindak (p.635). Jadi yang diperlukan dalam pemecahan masalah adalah obyektifitas penilaian akan segala aspek permasalahan yang dihadapi dan mengambil keputusan yang realistis untuk dijalankan agar konsekuensi keputusan yang akan dihadapi dapat diantisipasi dengan baik dan semestinya.

  • Tahap – Tahap Penyelesaian Masalah

Dari uraian sebelumnya tentang kaitan pemecahan masalah dengan pengambilan keputusan sebenarnya telah dapat dikemukakan tahap-tahap yang dilalui dalam pemecahan masalah. Namun untuk melengkapi uraian tersebut, Kast dan Rosenzweig (1985) mengemukakan bahwa dalam pemecahan masalah biasanya dilalui tahap-tahap berikut (p. 635-637): (1) Problem sensing, mengidentifikasi kesenjangan antara situasi yang dipersepsi dengan situasi yang diharapkan; (2). Refining the problem untuk meyakinkan bahwa anggota organisasi sepakat dan sepaham tentang batasan persoalan yang dihadapi. Misalnya, siapa yang terlibat, siapa penyebabnya, macam persoalan, tujuan penyelesaian persoalan, dan bagaimana menilai hasilnya; (3). The generation of alternative solutions, yakni bertukar pikiran untuk menganalis setiap alternatif pemecahan; (4). The evaluation phase, yang mencakup identifikasi tahapan tindakan tentatif, mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi, merefining dan memilih solusi terbaik; (5). Planning action steps; (6). Implementing action steps; (7). Following up.

  • Beberapa Sifat Pemecahan Masalah Dan Cara Menanganinya

Ada tiga sifat pemecahan masalah pada umumnya yaitu substansi, struktural atau teknis (Duncan, 1981). Substansi misalnya, keputusan tertentu dalam notula rapat tidak seperti diputuskan, atau dalam pelaksanaan tidak sesuai dengan keputusan. Dengan kata lain, terjadi penyimpangan. Cara mengatasi hal seperti ini lebih bersifat single-loop learning (Luthan, 2008), hanya memperbaiki kekeliruan. Hal struktural adalah masalah yang diakibatkan sistem. Barangkali sistem tidak berubah, tetapi keadaan berubah dan sistem tidak mampu menjawab tantangan jaman, sehingga yang dulu tidak dianggap masalah, sekarang dianggap sebagai masalah. Misalnya, ketidak adilan, kemiskinan dan keterbelakangan dahulu dianggap sebagai sesuatu yang alami/natural, tetapi dewasa ini dianggap sebagai masalah yang harus diselesaikan. Bisa juga sistem menjadia masalah karena diciptakan sistem legal yang memunculkan ketidakadilan yang menguntungkan segelintir orang yang berkuasa dan tidak memenuhi harapan sebagian besar masyarakat. Misalnya, sistem birokrasi tertentu atau sistem politik tertentu yang menguntungkan segolongan orang dan merugikan bagi sebagian besar rakyat. Hal seperti ini diatasi dengan cara double loop learning (Luthan, 2008), tidak sekedar mengoreksi penyimpangan, tetapi memperbaiki sistem. Hal teknis misalnya kemacetan mesin, tetapi bisa juga karena ketidakmampuan menangani persoalan tertentu. Dalam hal pertama, mungkin cukup dengan single loop learning, tetapi dalam hal kedua, perlu double loop learning mengubah keterampilan karyawan.

Dalam organisasi tidak jarang terjadi bahwa manajer terlalu sibuk (Marwata, 2001; Dongoran, 2010) dan banyak hal bernilai yang harus dilakukannya, maka dari itu manajer yang efektif tahu kapan dan hal apa yang perlu didelegasikan untuk diputuskan di tingkat bawah. Dalam situasi demikian, manajer menanyakan empat hal berikut (Wood et al, 1998, p. 542): Pertama, Apakah persoalan mudah ditangani? Persoalan kecil dan tidak berarti tidak perlu menyita banyak waktu manajer, karena seandainya ada kesalahan tidak akan berakibat fatal bagi organisasi. Ke dua, Apakah persoalan dapat terselesaikan sendiri? Urutkan persoalan dari yang tidak terlalu berarti hingga yang sangat berarti. Dan akan mengejutkan bahwa ternyata sejumlah masalah yang tidak terlalu berarti akan selesai dengan sendirinya atau akan diselesaikan orang lain sebelum manajer memberi perhatian pada persoalan- persoalan tersebut. Kalau persoalan yang tidak terlalu penting sudah terselesaikan dengan sendirinya, maka waktu akan cukup untuk persoalan-persoalan yang lebih penting. Hal ke tiga, Apakah harus saya yang mengambil keputusan? Banyak masalah dapat ditangani karyawan pada aras (level) bawah. Keputusan semacam ini sebaiknya didelegasikan saja. Masalah lain yang lebih penting yang harus ditangani pada aras yang lebih tinggi, yakni keputusan yang memiliki konsekuensi lebih luas pada organisasi dan karenanya perlu langsung di bawah pengawasan manajer. Terakhir, Apakah penyelesaian masalah dalam konteks organisasi? Artinya, harus dibedakan masalah yang kalau diselesaikan memberi solusi pada konteks organisasi dan yang tidak dapat memberi solusi pada organisasi. Dengan demikian, waktu dan energi manajer terpumpun (focus) pada penyelesaian masalah yang berkaitan dengan kepentingan organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Carnall, Colin A. (2007) Managing Change in Organizations, Fifth Edition., Boston: Prentice Hall, Inc

Daphane, A. Jameson (2009) What’s the right answer? Team problem solving in Environments of uncertainty., Business Communication Quarterly, Vol. 72, No. 2, June 2009, pp/ 215 – 221.

Dongoran, Johnson (2010) Gejala Tenggat Waktu di dalam Organisasi., Jurnal Dinamika Sosial Ekonomi, ISSN: 0854-1140., Vol. 6 Nomor 2 November 2010, pp.174 – 185

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *